Welcome to our website !

'Apa Salah Kami?'

By 10:23 AM

by Fahri Salam on Monday, June 6, 2011 at 7:08am
CISALADA sebuah perkampungan tipikal provinsi Jawa Barat. Ia
dikelilingi sawah dan kebun, sekira 20 kilometer dari kota Bogor.
Warga bekerja petani, sebagian pensiunan. Kehidupan berjalan tenang
dan lambat. Menjelang sore, anak-anak bermain di lapangan bulutangkis,
sebelah madrasah, dan bersama orangtua menuju masjid guna ibadah
maghrib. Suasana terlihat normal sampai kemudian, di tengah
meningkatnya kekerasan minoritas agama, warga Cisalada berselimut
ketakutan dalam arus kebencian anti-Ahmadiyah saat penyerangan awal
Oktober 2010.

Para penyerang dari dua kampung tetangga, tak lebih 500 meter. Mulanya
30-an remaja, usia 14-17 tahun, berusaha membakar masjid tapi segera
dihentikan warga Cisalada. Lantas, disulut isu membela diri atau sudah
dirancang sebelumnya, 300-an orang dewasa berdatangan dan menjadikan
Cisalada panggung parade kebencian.

Mereka melempar batu dan bom molotov. Mereka membakar sebagian rumah
dan bangunan masjid, isi rumah dijarah, kaca jendela pecah, pintu
dirusak. Sekira 50 Al-quran dilalap api. Madrasah dibakar. Mereka
teriak: “Podaran!” “Ahmadiyah anjing!” seraya takbir—di sisi serupa
warga Cisalada mengucapkan “Astaghfirullah” sembari sembunyi di kebun
belakang rumah atau lari ke sawah. Pada akhirnya, polisi dari kantor
terdekat, sekira 20 menit dari lokasi kejadian, datang dua jam
kemudian. Itu sangat terlambat. Alasan polisi: jalan diblokade. Hingga
tengah malam api masih berkobar sejak prakarsa serangan dimulai pukul
19:00. Saat bersamaan pula saluran air dari sumber telaga dimatikan
lebih dulu.

Ini hempasan balik relasi sosial yang hancur berantakan seketika.
Warga Cisalada sulit percaya dengan terus mengatakan, “Apa salah
kami?” dan menambahkan, “Sebelumnya hubungan kami baik-baik saja.”
Terimakasih kepada presiden Yudhoyono yang mengizinkan menteri agama,
menteri dalam negeri dan jaksa agung meneken surat keputusan bersama
anti-Ahmadiyah 2008. Alih-alih mengurangi kekerasan, surat keputusan
pelarangan itu justru mendorong intensitas persekusi terhadap muslim
Ahmadiyah.

Sejak beleid itu diterbitkan, dokumentasi Setara Institute, lembaga
nonpemerintah yang mengkaji kebebasan beragama, jumlah kekerasan
terhadap Ahmadiyah melonjak 286 kasus dalam kurun 2007 hingga Agustus
2010. Ini ditopang lemahnya penegakan hukum di Indonesia yang
koruptif. Para pengikut Islam garis keras, benih yang ditanam tahun
1970-an, mengkonsolidasikan diri lewat mobilisasi vertikal dalam
saluran mesin birokrasi dan lembaga legislatif. Momentumnya sangat
tepat di era transisi yang gampang goyah, bahkan sesudah 13 tahun
euforia jatuhnya pemerintahan militer Soeharto pada 1998. Muslim
Ahmadiyah Indonesia menjadi sasaran yang seakan mudah dibidik.

Sikap pemerintahan Yudhoyono, memberi ruang lebih besar bagi ekspresi
politik intoleran, telah membawa kehancuran permanen mitos “Indonesia
negara muslim terbesar yang demokratis.” Kenyataan bahwa presiden
“membuka pintu hati, pikiran kami,” untuk menampung “pandangan,
rekomendasi dan fatwa” dari MUI, sembilan bulan setelah dia dilantik,
menjelaskan arah kebebasan beragama di negara ini. Terkesan tanpa
memerhitungkan implikasi dari sikap tersebut, kita menyaksikan
kekerasan demi kekekerasan terhadap minortas agama bersama pelanggaran
hak sipil dan politik yang lain.

Mari melihat dari jarak terdekat. Sekira 300 muslim Ahmadiyah di
Lombok terpaksa mengungsi sejak gelombang pengusiran 10 tahun
terakhir. Sekira 36 kepala keluarga mengungsi di Transito, sebuah
bangunan pemerintah di Mataram. Mereka hidup sebagai internally
displaced persons. Anak-anak terpaksa terhenti kegiatan sekolah,
sebagian ditampung orangtua asuh di Jawa Barat, betapapun ejekan dan
kecemasan terus menguntit. Ironisnya Jawa Barat, yang memiliki sejarah
gerakan negara Islam, ialah wilayah dengan jumlah pelanggaran
tertinggi untuk kasus intoleransi kebebasan beragama. Tak satu pun
para pelaku serangan di Lombok dihukum serius.

Pola itu terus berulang. Massa yang jauh lebih besar dihasut lewat
seni menebar kebencian. Ia juga digerakkan organisasi Islam
berpandangan Wahhabisme yang memobilisasi penyerangan kantung-kantung
komunitas muslim Ahmadiyah. Kebencian terhadap Ahmadiyah meluas
sekaligus menajam. Di bawah payung fatwa “sesat” Majelis Ulama
Indonesia pada 2005, sebuah lembaga semipemerintah, plus SKB
anti-Ahmadiyah, mereka bertindak dalam semangat kebal hukum.

Dari setiap peristiwa persekusi itu aparat kepolisian melakukan
pembiaran, bahkan lebih sering meminta komunitas Ahmadiyah untuk
mengungsi; bukan mengusir para penyerang. Namun polisi menolak
anggapan tak bekerja serius. Itu terjadi saat 2005 sewaktu penyerangan
di Parung, pusat kegiatan Ahmadiyah, hingga serangan dua jam di
Cisalada. Tak sedikit kasus yang melibatkan pejabat lokal.

Negara abai melindungi muslim Ahmadiyah selain mengukum para pelaku
kekerasan. Sebuah gelembung anti-Ahmadiyah kian membesar. Dampak
seterusnya ialah pembunuhan terhadap tiga Ahmadi—sebutan muslim
Ahmadiyah—di Cikeusik pada 6 Februari 2011. Ia adalah bom waktu.

Itu siklus kekerasan yang jauh lebih mematikan. Para penyerang,
berjumlah 1,500-an, datang bergelombang dari dua arah. Melihat sasaran
rumah yang semula “dikosongkan” tapi kemudian berisi 20-an pemuda
Ahmadi, lantas melakukan pembelaan diri, mereka mengobarkan balasan
serangan lebih massif. Selain tiga korban tewas, lima orang terluka,
sebuah rumah dihancurkan dan dua mobil dibakar. Seorang warga Cikeusik
turut menjadi korban luka. Kini 12 tersangka dari pihak penyerang
menjalani proses sidang. Sementara seorang muslim Ahmadiyah ditetapkan
tersangka, sinyalemen viktimisasi terhadap korban, pola serupa untuk
kasus Cisalada.

Sejak organisasi keagamaan ini berbadan hukum pada 1953, bernama
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, hadir pada 1925 semasa Hindia Belanda,
belum pernah kekerasan itu terjadi “sistematik dan meluas” dalam
sepuluh tahun terakhir. Itu indikasi adanya unsur utama “kejahatan
terhadap kemanusian,” menurut laporan sementara Komnas HAM 2002-2007.
Ia membutuhkan perhatian serius dari sebagian besar masyarat Indonesia
bila tak jatuh dalam situasi lebih menyulitkan seperti Pakistan.
Banyak pandangan beranggapan kecenderungan menyeluruh intoleransi
kebebasan beragama di Indonesia kini menuju apa yang dinamakan
‘Pakistanisasi’. Ada hubungan ideologi yang spesifik dan jelas antara
organisasi anti-Ahmadiyah di Indonesia dan Pakistan.

Sekarang “sebatas” peraturan bersama anti-Ahmadiyah, plus sekurangnya
19 peraturan daerah di bawahnya. Lain waktu—jika kita berdiam diri,
tak menutup peluang tekanan keyakinan Ahmadiyah “di luar Islam”
diakomodasi lewat undang-undang. Sementara pesan itu telah mengisi
mimbar kebencian anti-Ahmadiyah, dalam batas tertentu media-media
turut mengobarkannya.

Ada sedikit informasi proporsional tentang muslim Ahmadiyah. Media
mengedepankan “realitas psikologis,” mengutip ujaran memojokkan dari
para pejabat dan tokoh radikal Islam terhadap Ahmadiyah, tanpa sikap
menapis kesalahan tersebut. Media juga melakukan swasensor dengan
menyebut “bentrokan” ketimbang “penyerangan.” Wartawan bersikap bias.
Banyak contoh pemberitan tentang muslim Ahmadiyah justru terperangkap
dalam strategi sensasional organisasi-organisasi Islam militan.

Kini taruhannya adalah demokrasi itu sendiri. Selagi media-media
meliput kejadian besar tentang pembunuhan di Cikeusik, berselang dua
hingga tiga minggu yang lekas ditinggalkan, kasus serangan di Cisalada
belum sepenuhnya surut. Polisi menahan tiga tersangka dari pihak
penyerang. Mereka dikenakan tahanan rumah dan, pada vonis persidangan
di pengadilan negeri Cibinong, mereka dihukum ringan 4-6 bulan;
seketika itu masa hukuman telah selesai. Sementara seorang terdakwa,
bernama Nuryamin, harus menjalani tahanan, dua hari setelah serangan.
Ia diduga menusuk seorang penyerang, remaja usia 15 tahun. Pada 18
April 2011, hakim memvonis 9 bulan penjara. Jaksa mengajukan banding.

Pada sidang-sidang itu massa pengunjung melewati rumah-rumah Ahmadi di
komunitas lebih kecil di sekitar Cisalada. Pada pusaran menentukan,
serangan itu menyisir. Hanya satu kilometer dari Cisalada, kampung
komunitas kecil Ahmadi itu diserang. Pada 12 Maret ancaman menjalar.
Esoknya, pukul 20:30, serangan pertama. Pada 16 Maret, serangan kedua.
Akhirnya, melibatkan tokoh kyai berpaham Wahhabi serta tokoh lokal
setingkat RT, ancaman lebih serius menguat. Pada 5 April, selagi 5
rumah itu sudah dikosongkan, serangan ketiga terjadi, pukul 23:30.
Hingga akhir Mei, saat saya mengunjungi 28 pengungsi, termasuk
anak-anak, mereka belum dapat kembali. Tawarannya satu: mereka boleh
ke rumah masing-masing asalkan “pindah dari Ahmadiyah.”

Saya bertemu dengan seorang korban serangan tersebut. Ia mengajak saya
mendatangi rumahnya pada siang hari. Ada tulisan “Ahmadiyah Anjing” di
tembok warung kelontong miliknya. Itu warung menjadi sumber pendapatan
keluarga dia. Dia sulit percaya: “Apa salah kami?”*

Tautan tambahan:
http://www.hrw.org/en/news/2010/06/01/pembantaian-minoritas-ahmadiyah-di-paki...

You Might Also Like

0 comments