Welcome to our website !
Saya ingin memmulai Tahun baru ini dengan membuang sampah, diawali dengan sampah digital di hardisk dan email saya. Ada 4,15 GB sampah di hardisk saya dan ribuan email yang saya hapus hari ini.


Ibu saya atau mungkin kebanyakan orang tua zaman dulu agak sulit membuang sampah dirumahnya, mereka kadang masih menyimpan kardus produk yang dibelinya, lengkap dengan plastik-plastiknya, dan lama-kelamaan benda-benda itu menumpuk memenuhi sudut-sudut rumah seiring makin banyak produk yang kita beli, selain itu, benda-benda yang sudah tak terpakai karena rusak pun sangat susah untuk disingkirkan, TV besar yang rusak masih saja ditempatnya. Tanpa disadari mereka memberikan tempat pada tikus-tikus rumah dan kecoa bersarang. Tentu sangat mengganggu, tetapi seakan mereka terhipnotis dan  tidak tau bagaimana mencari solusinya.

Dalam pikirannya, sampah-sampah ini sayang untuk dibuang, mereka mungkin akan bermanfaat dikemudian hari, entah minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau bahkan puluhan tahun kedepan. Mungkin lagi ada memori yang melekat dalam barang-barang rusak ini. Atau mereka bisa diperbaikin, dimodifikasi hingga bisa dipakai lagi. Mendiang bapak saya orang yang sangat kreatif, dia seringkali menyulap barang-barang rusak menjadi barang baru tapi dengan bentuk yang agak aneh.

Kita lupa jika waktu akan selalu bertambah tak berkurang, begitu juga apa yang kita miliki, kita konsumsi. kekayaan mungkin saja berkurang, tapi kita akan selalu membeli sesuatu. Kita juga lupa bahwa semua ada perannya, bahwa ada beberapa orang yang bekerja mengumpulkan sampah ini sebagai mata pencahariannya, hal ini  membuat kita terlihat rakus karena sampai-sampai sampah saja tidak mau kita sedekah kan.

Saya kira ini penyakit psikologis, penyakit yang berkembang ke watak kita mungkin. Ada ketidak iklasan untuk melepaskan sesuatu, mungkin hingga sifat kerakusan. Apa yang kita miliki sebenarnya tidak benar-benar kita miliki selamanya, kita hanya memanfaatkannya beberapa waktu, karena waktu terus bergerak dan kita selalu inginkan yang terbaru.

Saya kadang menemui rumah-rumah yang pemiliknya sangat rajin merawat setiap benda dirumahnya, namun memasuki rumah itu, serasa balik ke zaman sebelumnya, 90an, 80an.

Pertanyaannya apakah kita akan memulai tahun ini tanpa memberishkan diri kita dan mengikhlaskan diri membuang sesuatu yang mungkin bisa membebani kita?

Selamat tahun baru 2013 :)






--

​Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
KASUS "Fatwa Natal" dari Majelis Ulama Indonesia ternyata menghe­bohkan juga. Lembaga itu didesak agar "mencabut peredaran" fatwa yang melarang kaum muslimin untuk menghadiri perayaan keagamaan golongan agama lain. Ini sungguh merepotkan, hingga orang sesabar dan sebaik Buya Hamka sampai meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI.

Emosi pun mudah terganggu mendengarnya, kemarahan gampang terpancing, dan kesadaran lalu hilang di hadapannya: yang tinggal cuma sumpah serapah. Padahal, masalahnya kompleks. Sebagai kumpulannya para ulama, bolehkah MUI menggunakan terminologi dan pengertian yang lain dari apa yang diikuti para ulama umumnya? Kalau tidak boleh, bukankah sudah logis kalau MUI mengeluarkan fatwa seperti itu, karena memang masih demikianlah pengertian para ulama sendiri? Kalau boleh, lalu terminologi dan pengertian apakah yang harus dipergunakan oleh MUI?

Jadi, ternyata pangkal persoalan belum ditemukan pemecahannya. Ia me­nyangkut penetapan wewenang membuat penafsiran kembali banyak prinsip keagamaan yang sudah diterima sebagai bagian inheren dari sistem berpikir keagamaan kaum muslimin.

Lembaga seperti MUI, yang memang dibuat hanya sekadar sebagai penghu­bung antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam (itu pun yang masih merasa memerlukan kontak ke luar), sudah tentu sangat gegabah untuk diha­rapkan dapat berfungsi demikian. Ia hanyalah sebuah pusat informasi yang mem­berikan keterangan tentang umat kepada pemerintah dan maksud pemerintah kepada kaum muslimin. Tidak lebih dari itu. Kalau lebih, mengapa ia dirumuskan sebagai "tidak bersifat operatif dan tidak memiliki jenjang vertikal dengan Majelis-majelis Ulama di daerah? Kalau ia dikehendaki mampu merumuskan sendiri pedoman pengambilan keputusan atas nama umat Islam, mengapakah bukan tokoh-tokoh puncak tiap organisasi Islam yang dijadikan "perwakilan" di dalamnya?

Main Mutlak-mutlakan

Itu tadi tentang pangkal persoalannya: tidak jelasnya status keputusan yang dikeluarkan MUI, di mana titik pijak berpikirnya, dan kepada siapakah ia selalu harus berbicara (supaya jangan selalu babak belur dicaci maki pihak yang terkena).

Bagaimana halnya dengan ujung persoalan "Fatwa Natal"? Apakah lalu akan keluar fatwa tidak boleh pacaran dengan gadis beragama lain, lalu fatwa sama sekali tidak boleh pacaran? Apakah menganggukkan kepala kalau bertemu gadis juga dimasukkan ke dalam kategori pacaran? Bagaimana pula tersenyum (baik malu-malu ataupun penuh harapan)? Bolehkah, nanti anak saya bersekolah satu bangku dengan murid lain yang beragama Budha? Bagaimana kalau ada tamu Hindu, haruskah saya banting pecahkan gelas bekas ia meneguk minuman yang saya suguhkan (walaupun mungkin gelas pinjam dari orang lain)? Dan seterus­nya, dan seterusnya.

Kalau tidak ada keinginan menetapkan ujung persoalannya, jangan-jangan nanti kita tidak boleh membiarkan orang Kristen naik taksi yang di kacanya tertulis kaligrafi Arab berbunyi Bismillahirrahmanirrahim. Alangkah pengapnya udara kehidupan kita semua, kalau sampai demikian!

Tetapi, mencari ujung itu juga tidak mudah, karena ia berangkat dari seperang­kat postulat yang main mutlak-mutlakan dalam pemikiran keagamaan kita. Yang celaka kalau pemeluk agama-agama lain juga bersikap eksklusif seperti itu. Salah-salah, si muslim nakal bisa mengalami nasib sial: sudah mencuri-curi perginya melihat perayaan Natal (takut dimarahi MUI), sesampai di tempat perayaan itu diusir oleh penjaga pintu pula.

Karenanya, mengapakah tidak kita mulai saja mengusulkan batasan yang jelas tentang wilayah "kajian" (atau keputusan, atau pertimbangan, atau entah apa lagi) yang baik dipegangi oleh MUI? Mengapakah tidak masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa saja. Bagaimana merumuskan kemiskinan dari sudut pandangan agama, bagaimana mendorong penanganan masalah itu menurut pandangan aga­ma, bagaimana meletakkan kedudukan upaya penanganan kemiskinan (haram, halal, mubah, makruh, sunahkah?) oleh berbagai lembaga di bawah? Bagaimana pula kaum muslimin seyogianya bersikap terhadap ketidakadilan, terhadap ke­bodohan? Jawabannya tentulah harus terperinci dan konkret, jangan cuma sitiran satu dua hadis tentang kewajiban belajar hingga ke liang kubur saja.

Nah, kapankah akan ada kejelasan tentang ujung dan pangkal kasus "Fatwa Natal", yang juga berarti ujung dan pangkal MUI sendiri?

TEMPO, 30 Mei 1981
IBRAHIM ISA:
"AMIR SYARIFUDDIN ADALAH BAPAK BANGSA, PATUT DIHORMATI DAN DIHARGAI OLEH BANGSANYA SENDIRI"

Kawanku historikus Wilson Obrigados, hari ini mengingatkan pembaca bahwa, 64 tahun yang lalu, 19 Desember 1948, mantan Perdana Menteri Repulblik Indonesa, mantan Menteri Pertahanan RI, yang pada waktu perundingan RI-Belanda di kapal AS Renvelle (1947), adalah Ketua Delegasi Indonesia.

Mr Amir Syarifudin bersama 11 orang lainnya diekesekusi di desa Ngalihan, tanpa proses hukum yang transparn dan sah.

Eksekutor adalah Kolonel Gatoto Subroto, atas perintah Abdul Haris Nasution, bertentangan dengan sikap Presiden Sukarno, yang menentang hukuman mati atas Mr. Amir Syrifuddin.
Amsterdam, Rabu, 19 Desember 2012



WILSON OBRIGADOS
19 Desember 2012

Hari ini, 19 Desember 1948, Amir Sjarifuddin, mantan Perdana Mentri dan Mentri Pertahanan Republik Indonesia di jaman revolusi, dan penggagas Sumpah Pemuda, dibunuh bersama 11 orang lainya di Ngalihan, Solo. Usianya 41 tahun. Tentara dibawah Nasution, membangkang pada Presiden Soekarno yang menolak hukuman mati pada Amir Sjarifuddin dkk. Tengah malam, kolonel gatot subroto, mendatangi sel Amir dkk, membawa mereka ke pemakaman ngalihan yang sudah disiapkan untuk kuburan massal. Amir maju kedepan dan meminta menjadi orang yang dieksekusi pertama. Dengan memegang injil dia menyanyinkan lagu Indonesia Raya dan Internationale. lalu seorang letnan menembakan pistol dikepalanya.

Sang eksekutor, kolonel gatot subroto mati mendadak tahun 1962 karena stress. Diduga dia mengalami trauma akibat kejadian tersebut. Pada tahun 1950 mayat Amir dkk dimakamkan keluarga. Paska Gestok 1965, makam Amir dkk dihancurkan oleh militer dan terlarang untuk dikunjungi siapapun, termasuk keluarganya.

Baru sekitar tahun 2007, anak-anak Amir dapat mengunjungi makam ayahnya dan dengan bantuan Komnas Ham dan meminta ijin dari militer untuk memugar makam ayahnya. Anak bungsu Amir yang perempuan, didalam kandungan ibunya, ketika Amir di eksekusi. Hanya makam ayahnya yang menghubungkan dia dengan masa lalu.

Amir Sjarifuddin adalah bapak bangsa, patut dihormati dan dihargai oleh bangsanya sendiri.
inpixl.com - masih ingat dengan film Davinci code? dimana Tom Hanks yang berperan sebagai pemeran utamanya membuka tabir kejahatan yang menyangkut sebuah agama dengan cara memcahkan simbol-simbol? Film ini didemo karena dianggap menghina suatu agama, terlebih menghina simbol-simbol yang ada, baik simbol-simbol keagamaan yang sakral dan simbol-simbol anti agama tertentu.


kasus terbaru adalah ditolaknya Lady Gaga karena dianggap pemuja setan kerena dia selalu menampilkan simbol-simbol anti Tuhan. simbol mata satu, piramid, angka 666, kepala domba, bintang terbalik, salib terbalik, dll.   Pertanyaannya? simbol yang ditampilkan Lady Gaga itu simbol anti apa? apa kaitannya dengan FPI yang notabene adalah kelompok Islam dan menolak Lady Gaga?

Jika ditelusuri, simbol-simbol ini semaua berkaitan dengan agama kristen dan katolik, sedang tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Islam mengenal Dajjal bermata "picek" sebelah, bukan mata satu, tidak mengenal simbol piramida, kepala kambing, kepala anjing yang sebenarnya dipakai oleh kelompok anti yahudi dimana mereka beranggapan sebagai pemuja firaun (simbol-simbol tadi adalah simbol-simbol kerajaan firaun) yang anti Yahudi.Freemason dan Illuminati sebenarnya kelompok ini adalah kelompok anti gereja di eropa di zaman pertangahan, sebagai kelompok yang menentang kebebasan berfikir saat itu. Isu-isu simbol ini sebenarnya berkembang di Amerika sebagai cara untuk meneguhkan kelompok (agama) tertentu tidak mendekati kelompok diluar mereka, dengan cara menakut-nakuti. 

Lalu mengapa kita di Indonesia mengikutinya? sebuah pertanyaan dimana kita di Indonesia yang memiliki kebudayaan yang berbeda, agama (yang mempermasalahkan simbol ini) yang berbeda perlu mempermasalahkan simbol-simbol ini? 


Sebenarnya di Indonesia kasus permasalahan simbol sendiri sudah ada sejak lama. dari mulai simbol lingga-yoni, di candi-candi, dimana lingga berbentuk tonjolan dan berarti kemaluan pria sedang yoni berbentuk cawan yang menyimbolkan kemaluan wanita. Banyak yang mengartikan ini sebagai simbol penyembahan terhadap seksualitas, tapi para ahli menyimpulkan ini sebagai simbol kesuburan. Masih segar juga ingatan kita pada simbol palu-arit milik Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi momok di zaman Suharto agar masyarakat takut dan tidak mau memunculkan pemikiran atau paham yang menyerempet pada komunisme. Banyak pelaku yang entah sengaja atau tidak sengaja memunculkan logo ini di penjara zaman itu. Setelah Suharto tak berkuasa, baru diketahui bahwa ini adalah bagian dari kudeta kelompok Suharto kepada Sokarno yang saat itu didukung PKI dan lalu semua anggota, pendukung, simpatisan dan orang-orang yang dianggap berhubungan dengan partai ini di hukum mati, penjara tanpa persidangan. Simbol Palu-Arit, lagu genjer-genjer, dipakai sebagai simbol pengkhianatan dan anti pemerintah di zaman Suharto. Jika dihubungkan dengan Agama Islam, tidak ada simbol yang dikenal sebagai anti Islam seperti halnya anti kristen.


Selalu ada isu/cerita dibalik sebuah simbol. Dan tidak jelas siapa yg seharusnya menafsirkan simbol-simbol yang ada. Isu simbol dikembangkan oleh penguasa dan masyarakat untuk kepentingan mereka. Perlu di ketahui bahwa simbol hanyalah benda mati yang diberikan isu dibelakangnya, entah itu isu baik atau buruk dan tidak berbeda dengan isu, rumor, gosip, selalu ada pertentangan dalam penafsirannya. pada akhirnya setiap orang menafsirkan sebuah simbol dari sisi masing-masing. Yang perlu di ingat simbol itu sendiri bebas nilai dan bebas dipakai untuk apapun tanpa perlu takut kita tersihir masuk kedalam suatu golongan atau kelompok tertentu. Karena itu perlu kedewasaan dalam menyingkapi isu-isu yang berkaitan dengan simbol. Memakai simbol pedang bukan berarti menjadi anti kristen karena bentuknya yang seperti salib terbalik atau memakai logo segitiga atau belah ketupat bukan berarti penganut illuminati.

Ini matematikanya yang logikanya kacau-balau, dan sesungguhnya sangat memalukan bahwa ini dikeluarkan oleh Depag yang merupakan instansi resmi pemerintah.
"Kepala Pusat Kerukunan Beragama Kemenag RI, Abdul Fatah, menyatakan berdasarkan data tahun 2010, pada tahun 1997 hingga 2004 jumlah gereja Katolik bertambah 153 persen dari 4.934 menjadi 12.473, gereja Protestan 131 persen dari 18.977 menjadi 43.909, jumlah vihara bertambah 368 persen dari 1.523 menjadi 7.129, jumlah pura Hindu naik 475,25 persen dari 4.247 menjadi 24.431, sedangkan masjid hanya bertambah 64 persen dari 392.044 menjadi 643.843." 
  • Gereja Katolik: 153% -- dari 4.934 jadi 12.473; pertambahan = 7.539
  • Gereja Protestan:  131% -- dari 18.977 jadi 43.909; pertambahan = 24.932
  • Vihara: 368% -- dari 1.523 jadi 7.129; pertambahan = 5.606
  • Pura: 475% -- dari 4.247 jadi 24.431; pertambahan = 20.184
  • Masjid: 64% -- dari 392.044 jadi 643.843; pertambahan = 251.799
Jumlah total gereja Katolik, Protestan, vihara dan pura: 12.473 + 43.909 + 7.129 + 24.431 = 175.884
Jumlah total masjid: 643.843
Jumlah total pertambahan gereja Katolik & Protestan, pura dan vihara: 7.539 + 24.932 + 5.606 + 20. 184 = 58.261
Jumlah total pertambahan masjid: 251.799.
Sekarang menjadi terang-benderang bahwa persentase bisa sangat menyesatkan. Angka konkretnya memperlihatkan bahwa jumlah total semua gereja, vihara dan pura bila digabung pun masih kalah jauh banyaknya dibanding jumlah total masjid. Demikian pula total jumlah pertambahannya dari 1997 sampai 2004, jumlah total pertambahan masjid masih jauh di atas jumlah gabungan total pertambahan hereja, vihara dan pura.
Siapa yang dikira oleh Depag akan bisa dibodohi oleh permainan angka-angka ini?
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/06/03/m51lw4-pertumbuhan-masjid-di-indonesia-rendah
Pertumbuhan Masjid di Indonesia Rendah
Sunday, 03 June 2012, 20:09 WIB
Republika/Agung Supriyanto

Pertumbuhan Masjid di Indonesia Rendah
Masjid Istiqlal di Jakarta.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jumlah pertumbuhan masjid di Indonesia rendah. Demikian yang terlihat dari data statistik pertumbuhan masjid di Indonesia yang dimiliki Kementrian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI). 
Kepala Pusat Kerukunan Beragama Kemenag RI, Abdul Fatah, menyatakan berdasarkan data tahun 2010, pada tahun 1997 hingga 2004 jumlah gereja Katolik bertambah 153 persen dari 4.934 menjadi 12.473, gereja Protestan 131 persen dari 18.977 menjadi 43.909, jumlah vihara bertambah 368 persen dari 1.523 menjadi 7.129, jumlah pura Hindu naik 475,25 persen dari 4.247 menjadi 24.431, sedangkan masjid hanya bertambah 64 persen dari 392.044 menjadi 643.843.
Abdul Fatah juga menyampaikan jumlah penduduk dan rumah ibadah di Indonesia. “Jumlah umat Islam 207.176.162 sedangkan jumlah masjid 239.497, jumlah umat Kristen 16.528.513 dengan jumlah gereja Kristen 60.170, jumlah umat Katolik 6.907.873 dengan jumlah gereja Katolik 11.021, jumlah umat budha 1.703.254 dengan jumlah vihara 2.354, jumlah umat Hindu 4.012.116 dengan jumlah pura 24.837, dan jumlah umat konghucu 117.091 dengan jumlah kelenteng 552,” kata Abdul dalam pesan singkatnya kepada Republika Ahad (3/6).
Menurut Abdul, rendahnya pertumbuhan jumlah masjid di Indonesia dikarenakan masyarakat Indonesia lebih cenderung untuk menambah kapasitas masjid dibandingkan menambah jumlah unit masjid.
Hal senada diungkapkan Direktorat Urusan Agama Islam (Urais) dan Pembinaan Syariah Kemenag RI, A. Jauhari. Jauhari mengatakan terdapat paham keagamaan dalam umat Islam Indonesia yaitu satu desa satu masjid.
“Umat Islam di Indonesia masih menganut paham bahwa satu desa cukup satu masjid. Masjid tidak boleh lebih dari satu dalam satu desa. Jika ditambah, akan menjadi persoalan. Karena itu, masyarakat kita lebih memilih memperbesar masjid dibandingkan membangun masjid baru,” ujar Jauhari.
Jauhari mengungkapkan umat Islam cukup beribadah dalam satu tempat yaitu masjid. Sedangkan umat lainnya, kata Jauhari, jika berbeda aliran berbeda pula tempat ibadahnya. “Karena itu mereka membangun rumah ibadah,” ungkap Jauhari.
Jauhari mengatakan rendahnya pertumbuhan masjid dibandingkan dengan rumah ibadah lainnya merupakan bukti bahwa agama lainnya memperoleh hak yang sama untuk membangun rumah ibadah. “Perizinan pembangunan rumah ibadah tidak susah. Buktinya pertumbuhan rumah ibadah lainnya bertambah,” kata Jauhari