Welcome to our website !

Karya terjemahan Muhammad Ali dicerca tapi juga dipakai sebagai rujukan.


RUMAH tinggal Mirza Wali Ahmad Baig, mubaliq Ahmadiyah Lahore, menjadi tempat bertemu orang-orang Muhammadiyah, khususnya anak-anak muda. Mereka terutama belajar bahasa Inggris. Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan para anggota Sarekat Islam (SI) juga kerap datang. Hubungan SI dan Muhammadiyah masih akur.


Tjokro tak sekadar belajar bahasa Inggris. Diam-diam dia menterjemahkan karya Maulana Muhammad Ali, presiden Ahmadiyah Lahore, berjudul The Holy Qur’an, ke dalam bahasa Melayu. Dia mendapat dukungan dari Ahmad Baig. “Dia bahkan mengerjakannya di kapal ketika dia, sebagai wakil SI, bersama Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah berangkat ke Mekah untuk Mu’tamar ‘Alam Islami,” tulis Tempo, 21 September 1974, merujuk Kongres Islam Internasional (biasa disebut Kongres Mekkah), upaya membangun institusi pan-Islami baru setelah Mustafa Kemal Pasha menghapus sistem khilafah dan mendirikan Republik Turki pada 1924.


Tjokro dan Mas Mansur terpilih sebagai utusan dalam Kongres Al-Islam kelima pada Februari 1926 di Bandung. Kongres Al-Islam sendiri merupakan badan yang didirikan di Garut pada Mei 1924, bertujuan memperluas pengajaran agama dan menganjurkan pendirian Majelis Ulama untuk memutuskan perselisihan-perselisihan antara kaum ulama.


Muhammadiyah punya hubungan dekat dengan Ahmadiyah, bahkan memberi bantuan ketika Ahmadiyah didirikan di Yogyakarta pada 1925. “Namun, setelah debat publik antara Ahmad Baig dan pemimpin reformis-radikal Sumatra –juga pemuja Rasyid Ridha– Haji Rasul (Abd Al-Karim Amr Allah), Muhammadiyah berbalik melawan Ahmadiyah. Dan, sebagai konsekuensinya, Muhammadiyah memveto proyek penerjemahan Tjokroaminoto, dan memprotes dalam kongres Sarekat Islam pada 1927,” tulis Moch Nur Ichwan dalam “Differing Responses to an Ahmadi Translation and Exegesis”, yang dimuat di jurnal Archipel, 2001.


Kongres SI di Pekalongan itu sendiri hanya membahas secara singkat proyek Tjokro dan tak ada keputusan dibuat. Satu keputusan penting justru mengenai pemecatan anggota Muhammadiyah yang juga menjadi anggota SI –sebaliknya dilakukan Muhammadiyah setahun kemudian.


Pada Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada 26-29 Januari 1928, Tjokro memberikan alasan penterjemahan Alquran dan komentar karya Muhammad Ali. Menurutnya, dia tahu terjemahan Alqura

n beserta komentar karya Muhammad Ali, dari Ahmad Baig, yang juga memperkenalkannya kepada para pemimpin Muhammadiyah. Tjokro berargumen sudah mendapat persetujuan dari para pemimpin Muhammadiyah, Fachruddin dan Kiai Mas Mansur, pada 1925. Bahkan Fachruddin berkontribusi atas terjemahan komentar Muhammad Ali. Namun dia tetap diserang dengan sengit.


Menurut A.K. Pringgodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Agus Salim tampil dan mengatakan dengan lantang bahwa dari segala tafsir, tafsir Ahmadiyah Lahore yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia terpelajar.


Menurut Herman L. Beck dalam “The Rupture between the Muhammadiyah and the Ahmadiyah“, dimuat jurnal Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde, Muslim ortodoks maupun modernis menyalahkan Tjokro karena kurangnya pengetahuan tentang Islam dan dia, menurut opini mereka, sepenuhnya tergantung pada Ahmad Baig.


Baik Tjokro maupun Ahmad Baig mampu melawan kritik-kritik itu. Namun, beberapa hari setelah Kongres Al-Islam, Tjokro menyiarkan keluhannya di media Islam berkala Fadjar Asia–media

 ini juga menerbitkan sebagian terjemahan Tjokro. Antara lain dia menduga beberapa pengkritiknya khawatir tersaingi dengan terjemahannya, karena mereka juga sedang mengerjakan terjemahan Alquran mereka sendiri.


Dua minggu setelah Kongres Al-Islam, Muhammadiyah menggelar kongres ke-17 yang berlangsung 12-20 Februari 1928 di Yogyakarta. Pada kongres ini, Yunus Anis, sekretaris pertama Dewan Pusat yang baru, mengatakan bahwa Muhammadiyah menyesalkan keputusan SI mendisiplinkan anggota Muhammadiyah. Dia juga mengatakan, dengan menyesal Muhammadiyah tak bisa menyetujui proyek Tjokro. Alasannya: tak cocok dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.


Tekanan lain datang dari Muhammad Rashid Ridha, salah seorang ulama dan ahli hukum paling pengaruh dari generasinya serta murid Muhammad Abduh paling menonjol. Melalui majalah Al-Manar, dia menyampaikan metode-metode pembaruan ke penjuru negara Muslim. Beberapa anggota Muhamadiyah punya hubungan dekat dengan Ridha dan Al-Manar. Rida juga punya pengaruh kuat di Indonesia.


Menurut Nur Ichwan, “Negara, Kitab Suci dan Politik”, termuat dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia karya Henri Chambert-Loir, dalam fatwanya, menanggapi Syaikh Muhammad Basyuni Imran, Maharaja Imam dari Kesultanan Sambas di Borneo (Kalimantan), Ridha menolak proyek Tjokroaminoto karena menganggap terjemahan (dan tafsir) Alquran yang ditulis Muhammad Ali menyimpang dari ajaran Islam yang baku.


Karena perlawanan masih keras, penerbitan tafsir itu ditunda sampai Majelis Ulama mengambil ketentuan. Dalam kongres di Kediri pada 27-30 September 1928, SI membentuk Majelis Ulama sendiri –karena Muhammadiyah tak mau terlibat– yang bersidang saat itu juga. Majelis memutuskan bahwa terjemahan itu boleh diteruskan, asal dilakukan dengan pengawasan Majelis.


Pada tahun itu juga tiga bagian p

ertama terjemahan Tjokro terbit dengan judul Qoer’an Soetji, disertai Salinan dan Keterangan dalam Bahasa Melajoe.


“Fatwa Rashid Ridha mengenai karya eksegetik Muhammad Ali, The Holy Qur’an, tidak memperoleh tanggapan karena karya itu kemudian diterjemahkan, tidak saja ke dalam bahasa Melayu dan Indonesia, tetapi juga ke dalam bahasa Belanda dan Jawa,” tulis Nur Ichwan.


Terjemahan bahasa Belanda dilakukan Sudewo Partokusumo Kertohadinegoro, guru HIS Muhammadiyah, dengan judul de Heilige Qoern. Karya ini terbit pada 1935 beriringan dengan pengantarnya “Inleiding tot de Studie van Den Heilige Qoer’an”. Sementara dalam bahasa Jawa, Qur’an Suci Jarwa Jawi, dikerjakan R. Ng. H. Minhadjurrahman Djajasugita dan M. Mufti Sharif, diterbitkan di Yogyakarta pada 1958. Djajasugita adalah ketua Muhammmadiyah cabang Purwokerto yang memilih mundur dari Muhammadiyah dan bersama Muh Husni (sekretaris jenderal PB Muhammadiyah) mendirikan Indonesische Ahmadiyah Beweging atau sekarang dikenal sebagai Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia (GAI).


Beberapa tahun kemudian, pada 1979, terbit pula terjemahan dalam bahasa Indonesia,Qur’an Suci: Teks Arab, Terjemah dan Tafsir Bahasa Indonesia, oleh H.M. Bachrun –setelah sebelumnya A. Aziz melakukannya tapi tak jadi terbit pada 1939.

“Terjemahan dalam bahasa Jawa dan Indonesia bahkan disetujui dan disahkan oleh Departemen Agama. Pada tingkat tertentu, ini merupakan indikasi dukungan berkelanjutan atas terjemahan karya Muhammad Ali di satu sisi, dan tak signifikannya pengaruh fatwa Rasyid Ridha di sisi lain,” tulis Nur Ichwan dalam jurnal Archipel.


Terjemahan Tjokro memang tak terkenal, selain juga tak selesai dan hanya merupakan dokumentasi di museum. Tapi terjemahan Sudewo –bersama pengantarnya– terdapat di hampir semua rumah tokoh-tokoh intelektual Islam angkatan sebelum perang. “Boleh dipastikan mereka menyimpan kitab itu,” tulis Tempo, 21 September 1974.


Menariknya, edisi pertama Al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan Departemen Agama memakai rujukan The Holy Qur’an oleh Muhammad Ali dan terjemahannya dalam bahasa Belanda oleh Sudewo, serta tafsir Ahmadiyah Qadiyan The Holy Qur’an oleh Maulvi Sher Ali. Edisi pertama diterbitkan dalam tiga volume pada 1965, 1967, dan 1969. Edisi ini diterbitkan Yayasan Mu’awanah Nahdlatul Ulama (Yamunu), sehingga kerap disebut “Edisi Yamunu”.


Edisi kedua, yang merupakan revisi, menyisipkan tafsir Ahmadiyah Qadiyan lainnya, The Holy Quraan oleh Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad. Edisi ini diterbitkan pada 1974, kerap disebut “Ed

isi Mukti Ali”, merujuk nama menteri agama kala itu yang juga menulis kata pengantar. Lembaga yang terlibat masih sama, tapi diubah menjadi Yayasan Penyelenggaraan Penterjemahan Al-Qur’an.


Tapi edisi ketiga, karya-karya tafsir Ahmadiyah Lahore dan Qadiyan hilang dan digantikan karya Mohammed Marmaduke Pickthall The Meaning of the Glorious Koran, yang tak disebutkan pada edisi-edisi sebelumnya.


“Penggantian ini mungkin dibuat atas anjuran pemerintah Saudi, karena mereka menganggap Ahmadiyah menyimpang dari ajaran-ajaran ortodoks,” tulis Nur Ichwan.


Edisi ketiga ini kerap disebut “Edisi Saudi” karena diterbitkan atas kerjasama Departemen Agama dan pemerintah Saudi. Ia diterbitkan di Madinah oleh percetakan resmi pemerintah Saudi (Mujamma’ Khadim al-Haramayn al-Sharifayn al-Malik Fahd li al-Taba’at al-Mushaf al-Sharif) pada 1990.


Karya tokoh-tokoh Ahmadiyah, yang mempengaruhi dan menjadi rujukan kaum intelektual Islam Indonesia dari Soekarno hingga AA Navis, meredup karena persoalan politik. [BUDI SETIYONO]


Artikel terkait
--

Teka-teki ormas Front Pembela Islam (FPI) mulai terkuak dari bocoran kabel diplomat AS yang disebarkan oleh Wikileaks.

Bocoran Wikileas dilengkapi "pengakuan" mantan Kapolda Metro Jaya Nugroho Djayusman, serta hubungan khusus anggota BIN dan aparat keamanan lainnya dengan FPI terkait dana operasi dan aksi2 polisional lainnya.

Silakan menyimak..

Indonesian Police Used FPI as ‘Attack Dog,’ Leaked US Cable Alleges

Jakarta Globe | September 03, 2011
Unredacted US diplomatic cables published by antisecrecy Web site WikiLeaks on Friday allege collusion between Indonesian security forces and the radical Islamic Defenders Front.

Though the claims are not new, the leaked cables go into far greater detail than before and name the sources providing the US Embassy in Jakarta with information on a number of recent controversies, each of which has the potential to embarrass the Indonesian government.

One of the cables states that a contact within the State Intelligence Agency (BIN), Yahya Asagaf, had “sufficiently close contacts within” the Front, known as the FPI, to warn the embassy that it would be attacked by the vigilante group on Feb. 19, 2006, during protests against the publication of cartoons of the Prophet Mohammed.

The cable says the contact alleged that then National Police Chief Gen. Sutanto, the current head of BIN, had provided the FPI with funds prior to the attack, but cut off the funding after the incident.
“When we questioned [the contact’s] allegation that Sutanto funded FPI, Yahya said the police chief found it useful to have FPI available to him as an ‘attack dog,’” the cable says.

“When pressed further on the usefulness of FPI playing this role, noting that the police should be sufficiently capable of intimidation, Yahya characterized FPI as a tool that could spare the security forces from criticism for human rights violations, and he said funding FPI was a ‘tradition’ of the Police and BIN.”

The contact said the FPI had obtained the “majority of its funds from the security forces” but faced a “budget crunch” after the attack.

Another cable also alleges the FPI had close contacts with former Jakarta Police Chief Nugroho Djayusman, who admitted the connections to embassy officials.

“He then explained defensively that it was natural for him, as the Jakarta Police Chief, to have contacts with all sorts of organizations,” the cable continues. “This was necessary because the sudden release of energy from the Islamists, who had been repressed under [former dictator] Suharto, could have posed a security risk.

“‘But it doesn’t mean I was involved,’ he said, distancing himself from responsibility for any violent activities.”

The cable said that Nugroho illustrated his point by claiming that Sutanto lacked useful connections, “and when the violent FPI demonstration took place, Sutanto had to call Nugroho to request assistance.”

“Nugroho told us that he then called FPI Chairman Habib Rizieq and arranged the surrender of three men who had arranged the violence outside of the US Embassy. “

Nugroho, a controversial figure also blamed for failing to prevent the deadly anti-Chinese riots after the downfall of Suharto in 1998, also took a swipe at the FPI’s Islamic credentials.

Though he acknowledged the FPI had a “clear track record of violence” he labeled the group a “small, relatively insignificant group” that was “not ideological, except insofar as it opposed gambling, prostitution and pornography.”

“By contrast, he noted that ‘Ngruki’ (shorthand for [Abu Bakar] Bashir’s pesantren and, one can assume, the Jemaah Islamiyah organization) was a much more serious ideological group.”

In a later cable in the second quarter of 2006, Yenny Wahid, the daughter of former President Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, said the retired group of security officers who had helped form and finance the FPI — including Nugroho — had lost control of the group, saying they had “‘created a monster’ that now functioned independently of its former sponsors and did not feel beholden to them.”
“Although anyone with money could hire FPI for political purposes, no one outside of the group could control FPI head Habib Rizieq, who functions as his own boss,” the cable said.


















Pengadilan Negeri Serang pada 15 Agustus mengeluarkan vonis untuk Deden Sudjana. Tiga kata yang tepat untuk menggambarkan keputusan pengadilan adalah: biadab, tolol, dan pengecut. Yang tak ada adalah keadilan.

Sekarang bayangkan seandainya cerita di bawah ini menimpa Anda.

Suatu hari, rumah Anda akan diserang sepuluh pemuda beringas. Alasan mereka menyerang hanya satu: mereka ingin mengusir Anda dari rumah milik Anda karena mereka tidak suka dengan agama Anda. Seorang polisi mendatangi Anda dan meminta Anda untuk pindah saja dari rumah itu.

Anda berkeras untuk tidak pindah karena itu adalah hak milik Anda yang dilindungi hukum. Anda tidak mau mengikuti permintaan polisi, dan Anda justru meminta polisi melindungi Anda karena menurut Anda kewajiban polisi adalah melindungi warga. Polisi itu bilang: "Wah saya tidak sanggup. Anda saja deh yang pindah."

Karena merasa bahwa Anda harus melindungi hak milik Anda, Anda memilih bertahan. Si polisi pun pergi dan hanya melihat dari kejauhan. Tak lama kemudian, benarlah gerombolan pemuda itu datang sambil berteriak-teriak mengusir Anda. Karena tahu akan diserang, Anda pun menyiapkan segala macam peralatan untuk melindungi Anda. Dan begitu seorang pemuda itu menginjak halaman rumah Anda sambil memaki-maki dan mengacungkan pisau, Anda pun memukul dia. Perkelahian terjadi. Tapi karena berlangsung tak seimbang, Anda pun terkapar. Untung Anda tak sampai mati karena gerombolan pemuda itu menghentikan pemukulan dan memilih menghancurkan barang-barang yang ada di rumah Anda.

Tentu saja ini jadi perkara hukum. Tapi, ternyata yang diajukan ke pengadilan bukan cuma para penyerang itu tapi juga Anda sendiri. Lho, kata Anda, kok saya juga dituntut? Begini, kata polisi dan jaksa, Anda dituduh bersalah karena dua hal: Anda tidak mau meninggalkan rumah walau sudah diminta polisi dan Anda memukul penyerang Anda.

Dengan alasan itu, Anda diajukan ke pengadilan. Dan hakim pun ternyata setuju dengan sang polisi dan jaksa. Anda dihukum sekian bulan penjara karena Anda dianggap melawan orang yang berusaha merampas hak milik Anda.

Apa kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan kelakuan para polisi, jaksa, dan hakim yang terlibat dalam pemerkaraan Anda dan keputusan menghukum Anda itu? Saya duga Anda akan menyebut rangkaian hal-hal buruk yang mencerminkan ketidakmasukakalan proses itu.
Dan inilah yang terjadi dengan pengadilan kasus Ahmadiyah di Cikeusik.

Lengkapnya di: Source
waktu darsem mau dipenggal, tvone menggalang dana untuk menebus darsem, terkumpullah 1,3 M. ternyata darsem ditebus negara. setelah darsem balik ke Indo, tvone langsung memberikan 1,3 M kepada darsem, mendadak kaya lah darsem. pertanyaannya? kira2 apa yang akan dilakukan orang seperti darsem setelah lepas dari maut tiba2 dapat uang 1,3 M? gimana perspektif tetangga dan kerabat daersem yang tau tardem jadi milyader? gimana perspektif orang lain?

kenapa 1,3 itu ga dikasih aja sama TKI yang sakit, hampir mati, dan sengsara di arab? ide kaya yang dilakukan tvone ini entah dari mana asalnya? mencari sensasi? atau salah arah? yang pasti di SCTV di beritakan, kalo tetangga darsem kecewa lihat darsem yang sombong sekarang. hari gini, jadi milyader mendadak, pasti banyak masalah, masalah yg ujung2nya duit.

Wall street jurnal melaporkan laporan Penampakan detil pada dunia penggalian data.. penekanan dari artikel yang menghebohkan ini adalah bahwa website kini melacak jejak prilaku Anda. tapi dalam beberpa hal ini adalah kejutan yang datang tiba-tiba.

kenyataannya, hal ini sebenarnya sudah jelas kepada siapapun yang senang memperhatikan internet, khusuunya revolusi media sosial web 2.0, bahwa penggalian data dan software pelacak adalah aplikasi pembunuh dari bisnis internet. Sebelum adanya internet, perusahaan harus mengandalkan pada survei pasar dan ujicoba untuk melacak kemauan konsumennya dan yang terlebih penting, adalah konsumen potensialnya. Data sering tidak dapat diandalkan, bahkan ketika hal itu adalah cerminani kemauan konsumen, data seringkali diterima berbulan-bulan setelah transaksi dilakukan. internet, khususnya aspek interaktif media sosial, tiba-tiba menyediakan kekayaan alat untuk memahami konsumen mereka dan membangun model hubungan yang lebih memahami apa yang konsumen lakukan dan mengapa mereka melakukannya.

Tapi dengan kekuatan wawasan besar ini datang sisi gelap yang sangat jelas, dalam rangka untuk mendapatkan informasi, mereka perlu mengintip. pertanyaan besar akan semua ini apakah konsumen mengetahui adanya pengintipan ini, dengan kata lain mereka secara sadar menukarkan akses tanpa adanya privasi untuk hal-hal keren yang ada di situs atau mereka tidak sadar akibatnya dari tindakan mereka sendiri dimana semua orang tau detil apa yang mereka lakukan di internet selama ini.

Pada 27 Juli 2007, pimpinan FTC Jon Leibowitz mengatakan pada sidang senat Amerika, bahwa perlu dipertimbangkan item pendaftaran untuk "tidak di lacak". ide ini, yang kemungkinan mengikuti logika populer FTC tentang item pendaftaran untuk "tidak di telepon" akan membawa perubahan dramatis untuk penjual online. "Konsumen bisa lebih muda untuk keluar dari iklan yang berdasarkan prilaku dari pada memilih pada sebuah situs dengan dasar aturan situs yang bersangkutan" katanya.

jika ide ini menjadi kenyataan, ini akan memaksa setiap orang untuk mempertimbangkan aktifitasnya dalam ruang pemasaran berdasarkan prilaku, tapi knapa harus menunggu? Anda sebaiknya memikirkan hal ini dari sekarang. bagaimana mereka mengumpulkan informasi dari konsumen dan apa yang mereka lakukan dengannya? apakah mereka menginstal software pelacak pada komputer Anda?  apa jenis pengungkapan yang mereka gunakan?

jawaban dari pertanyaan, seberapa jauh hal ini sudah kelewatan? dalam hal ini akan sangat bervariasi jawabannya dari perusahaan ke perusahaan tentunya, tapi Anda perlu berfikir berdasarkan rencana Anda dan bagaimana mereka ikut campur dengan ekspektasi konsumen. Mulai sekarang, jika Anda tidak lakukan pembatasan, seseorang mungkin akan melakukan sesuatu kepada Anda dan lebih cepat dari yang Anda pikirkan.